Kenapa Menulis di Media Sosial?


Kalau ingin menjadi penulis, langkah pertama: menulislah di media sosial.

Bagaimana caranya?

Just write. Bikin akun. Lalu tulis. Apa saja. Tapi jangan pendek-pendek. Mulai minimal 100 kata. Pelan-pelan tingkatkan. Menulislah tiap hari.

Bisa di blog, FB, Twitter, Instagram, Whatsapp, Telegram, dan lainnya. Semua media sosial apa saja, boleh.

Mengapa harus di media sosial? Mengapa gak nulis di laptop saja, lalu disimpan di folder khusus. Boleh nulis di laptop, tapi tetap dipublikasikan di media sosial. Hehe. Yang ditulis di media sosial, sebaiknya juga diback up di laptop, drive, atau hardisk internal.

Inilah cara, agar terbentuk karakter dan mental seorang penulis. Berani. Berani memublikasikan tulisan. Gimana mau jadi penulis besar dengan pembaca jutaan, jika menulis di medsos saja masih maju-mundur?

Gak perlu malu, selama yang ditulis adalah kebaikan. Gak perlu takut, bahwa tulisan kita terlalu buruk. Asal terbaca dan bisa dimengerti pembaca, itu sudah sangat baik. Jauh lebih baik, dari mereka yang berpikir untuk menulis tapi tak kunjung menulis.

Teman-teman di media sosial akan membaca. Ada yang memberikan apresiasi lewat tombol "like" dan komentar. Itu akan menambah motivasi. Sehingga kita bersemangat untuk menulis lagi.

Selain itu, kita bisa tahu, tulisan mana dan seperti apa yang paling banyak disukai. Tulisan bagaimana yang kurang disukai. Sebuah tahap awal untuk mengetahui karakter calon pembaca buku kita. Target pasar kita.

Tapi mungkin saja ada yang mengkritik. Kita harus siap. Sekaligus ini mengasah mental kita untuk tidak lemah terhadap kritik. Penulis tak boleh antikritik. Tak boleh mutung hanya karena dikomentari negatif atau dinyinyiri. Tak ada penulis di dunia ini yang tidak dikritik. J.K Rowling, Dan Brown, Buya Hamka, Andrea Hirata, semua pernah dikritik. Pernah dihujat, dimaki, dan difitnah pula karyanya. Penulis sejati tak akan mutung hanya gara-gara dikritik. Justru ia semakin melaju. Menulis tanpa henti.

Jadi lewat media sosial latihannya.

Sebelum mengenal media sosial, dulu saya menggunakan cara konvensional. Saat masih SMP. Saya menulis puisi di buku tulis. Sampai penuh. Ada puluhan puisi. Lalu saya berikan pada teman-teman untuk dibaca. Bergiliran. Setiap dari mereka menandai puisi yang paling bagus dan paling jelek dalam buku itu. Akhirnya saya jadi tahu, puisi ini paling banyak disukai. Puisi itu kurang disukai. Saya evaluasi kekurangannya. Saya perbaiki. Lalu menulis lagi. Sebanyak-banyaknya.

Sekarang ada medsos, tentu lebih memudahkan.

Tulisan saya bisa langsung dipublikasikan, tanpa perlu menunggu sebulan, tiga bulan, apalagi satu tahun. Selepas menulis, revisi, sunting, langsung unggah. Mudah-mudahan ini termasuk dalam "menyegerakan kebaikan". Kebaikan perlu disegerakan, agar kita bisa langsung dapat "upah"nya. Pahalanya. Siapa tahu, beberapa jam setelah menulis, kita diwafatkan oleh Allah. Rugi kita. Karena itu, publikasikan segera.

Kalau ingin dijadikan buku, nanti bisa dikumpulkan. Direvisi dan diperkaya lagi. Kirim ke penerbit. Jadilah buku. Buku pertama saya "Muhasabah Cinta" adalah kumpulan tulisan di blog. "Meniti Kehidupan Agung" kumpulan tulisan di FB. Beberapa puisi saya dalam "Kepak Cahaya" juga pernah dipublikasikan di medsos.

Jangan ragu lagi. Kuatkan tekad menjadi penulis. Lalu menulislah di medsos. Setiap hari.

sumber gambar: ekrut.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

1 Response to "Kenapa Menulis di Media Sosial?"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel