Jangan Remehkan Buku Tipis


Apa yang kita pikirkan saat melihat buku tebal?

Penulisnya pasti hebat. Isinya pasti berbobot. Nulisnya pasti berbulan-bulan atau bertahun-tahun.

Belum tentu.

Sebagaimana pula buku tipis. Belum tentu penulisnya amatiran. Belum tentu isinya receh. Belum tentu nulisnya hanya sehari semalam.

Jangan memandang buku dari tebal-tipisnya. Apalagi sampai diukur dengan penggaris. Ditanya berapa halaman tebalnya, untuk menakar penghargaan padanya.
Kualitas sebuah buku tidak ditentukan oleh tebal-tipisnya. Tapi seberapa banyak ia memuat ilmu dan hikmah. Seberapa besar ia bisa memberi pengaruh pada pembaca.

Saya banyak menjumpai buku tipis yang berbobot. Sebut saja karya-karya Buya Hamka, salah satunya "Ghirah, Cemburu Karena Allah". Atau karya Syaikh Mutawalli Asy-Sya'rawi berjudul "Rezeki". Atau "Surat Terbuka untuk Para Wanita" karya Sayyid Qutb. Tipis, tapi begitu hebat untaian kata yang tertulis di dalamnya.

Sebab apa mereka bisa menulis buku tipis tapi "kaya"? Karena hati dan pikiran mereka penuh dengan cahaya hikmah. Tak ada satu pun kata yang keluar, kecuali telah ditimbang, kecuali adalah kebaikan.

Sama halnya ketika kita mendengar ucapan dari seseorang. Panjang lebar. Bahkan hingga berjam-jam. Tapi tidak meninggalkan apa-apa. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Tetapi ada orang tertentu, yang ia berbicara satu atau dua kalimat saja, dan kalimat itu menghunjam dalam. Bahkan bisa mengubah total perilaku seseorang.

Tulisan pun demikian. Jangan ukur panjang pendeknya. Tebal tipisnya. Simaklah, nasihat apa yang penulis sampaikan. Hargailah isinya, bukan banyaknya jumlah halaman.

Saya membeli buku tipis karya Buya Hamka berjudul "Di Lembah Sungai Nil" seharga 750.000 di sebuah lelang. Selain karena itu buku langka, saya tahu kualitas penulisnya. Puluhan karya beliau telah saya khatamkan. Maka layak karya beliau diganjar dengan nominal yang lebih.

Saya juga sering menjumpai hal yang sama pada karya M. Natsir, Soekarno, dan Hatta. Beberapa buku tipis karya mereka, harganya "gak normal" menurut pikiran kebanyakan kita.

Teman-teman kiri, juga menghargai mahal karya seniman dan tokoh mereka. Mulai Pramoedya Ananta Toer, Aidit, hingga Utuy Tatang Sontani. Karya mereka yang tebalnya mirip keripik itu, bahkan bisa bernilai jutaan.

Begitulah orang yang paham buku ketika mengapresiasi sebuah buku. Tebal atau tipis tak masalah. Isinya yang terpenting.

Buku bukan seperti makanan, yang kalau sepiring harganya 10.000, maka dua piring pastilah 20.000. Buku tipis yang "mengenyangkan" tentu lebih baik daripada buku tebal yang isinya hanyalah sampah.

sumber gambar: fimela.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Jangan Remehkan Buku Tipis"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel