Stamina Menulis


Benar kata Benny Arnas, menulis adalah soal menjaga stamina. Bukan perkara sederhana--seperti duduk di teras rumah sambil menikmati bunga-bunga. Menulis adalah menyiapkan napas panjang, untuk pertarungan yang tak pernah selesai.

Pertarungan menaklukkan kemalasan!

Ya, karena itulah sejatinya yang membuat stamina penulis kikis--lalu lambat laun habis. Lalu berhenti. Tak dapat dan tak mau menulis lagi. Betapa banyak tragedi seperti itu terjadi. 

Saya tak mau menjadi bagian dari penulis tragis itu. Maka saya harus menjaga stamina menulis saya, agar gairah  menulis tetap menyala-nyala. 

Bagaimana caranya? Hal yang paling utama adalah membaca. Tak ada energi yang lebih dahsyat dari membaca. Satu buku yang dibaca bisa menghasilkan puluhan hingga ratusan ide. Saya bisa menulis beberapa judul artikel hanya dengan membaca sebuah buku. Sehingga saya sering mengibaratkan, proses membaca adalah proses kita menikahi buku. Dan karya-karya yang lahir adalah anak-anaknya. 

Sumber stamina berikutnya adalah sering ngobrol dan berdiskusi dengan sesama penulis. Termasuk di dalamnya belajar atau mengajar menulis. Saya mendapatkan cadangan stamina yang melimpah dari mengampu SMILE. Pada satu waktu mereka merasa termotivasi oleh saya, tetapi sesungguhnya, pada saat yang sama mereka juga sedang memotivasi saya. Disadari atau tidak. Diakui atau tidak. Saya meminta mereka menulis tiap hari, maka saya juga harus menulis tiap hari. Saya meminta mereka menulis sekian kata, maka saya harus pula bahkan melampaui target mereka. Sementara saya menambahkan stok stamina buat mereka, mereka memgirimkan yang lebih banyak buat saya. Alangkah menyenangkan. Alangkah beruntungnya. 

Sumber stamina berikutnya adalah pertanyaan yang terus diulang-ulang dalam diri saya: mengapa saya menulis? Apa alasan terbesarnya? Jawaban atas pertanyaan itulah kemudian yang menggumpalkan dan membuncahkan tekad saya untuk terus menulis. Setiap orang mungkin memiliki jawaban yang tidak sama, tetapi ingat rumusnya: alasan yang besar akan mensuplai stamina yang besar. 

Saya menulis bukan untuk tujuan dunia. Tapi jauh lebih mulia daripada itu. Lebih agung dan besar. Itulah yang membuat saya mau bekerja keras, yang membuat saya terus menulis hingga sekarang. Saya tak akan mudah menyerah dan putus asa saat diterpa kegagalan, karena saya tahu rumus kehidupan: semakin tinggi tujuan yang ingin diraih, semakin terjal pula jalan untuk menggapainya. Dan saya akan terus mendaki, dengan segala letih dan kepayahan, dengan segala aral yang ditemui. 

Bagi orang yang memiliki tujuan kecil, ia tak akan memiliki kekuatan untuk berjuang, karena menganggap kepayahan yang dirasakan lebih besar dari tujuan yang hendak dicapai. Ia akan angkat bendera putih. Menyerah kalah.

Setidaknya tiga hal itu yang menjadi sumber utama agar stamina menulis terjaga. Dan semua penulis bisa melakukannya. Semua penulis bisa mencobanya.

Sidoarjo, 13 September 2020

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Stamina Menulis"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel