Ketika Fiksi Kehilangan Daya Tariknya


Sudah lama sekali saya tidak menulis fiksi. Maksud saya, cerpen. Kalau novel, memang belum pernah. Tak satu pun. 

Sebenarnya, saya menulis fiksi pertama kali saat SD. Saya menulis cerita yang kemudian saya buat komik. Tapi ya hanya itu. Sepertinya saat itu saya terinspirasi dari cerita-cerita dan komik yang saya baca, terutama seri Hamindalid Penyihir Jenaka di Majalah Mentari. 

Masuk bangku SMP dan SMA, saya tak lagi menulis fiksi. Tulisan saya hampir semuanya puisi. Namun demikian, saya masih membaca fiksi sama baiknya dengan membaca nonfiksi. Sebagian besar saya membaca fiksi lewat Majalah Annida. 

Ketertarikan saya menulis fiksi berkisar di bulan-bulan akhir menjelang lulus SMA. Itulah pertama kali saya menulis cerpen. Judulnya "Bendera Setengah Pisau". Tapi cerpen itu masih terlalu pendek, sehingga saya sempurnakan setahun kemudian.

Cerpen itu menurut saya sangat kritis-filosofis. Saya bercerita tentang seorang anak muda yang menjadi guru ngaji, di depan rumahnya memasang bendera yang tiangnya dari pisau dan benderanya dari uang seratus ribuan. "Bendera" itu dipasang tidak di ujung pisau, melainkan di  tengah, sehingga disebut "bendera setengah pisau". 

Sejak cerpen itu terbit, cerpen-cerpen saya berikutnya tumbuh dengan subur. Saya kadang menulis hingga dua cerpen dalam sehari. Saya menulis beragam tema, mulai tema sosial hingga politik. 

Ketika baru menikah, file-file cerpen saya banyak yang hilang karena hard disk komputer rusak. Saya cukup frustasi. Meskipun akhirnya bisa move on lagi, tetapi intensitas saya menulis cerpen mulai jauh berkurang. 

Sampai sekarang, saya lupa sudah berapa tahun saya tidak menulis cerpen. Tidak menulis fiksi. 

Pernah, saat ikut bimtek literasi. Tapi saat itu saya menulis bukan karena kesadaran dan keinginan saya sendiri. Namun lebih karena tugas yang harus saya kerjakan. Meski begitu saya cukup puas dengan hasilnya. Saya tak percaya, ternyata saya masih bisa menulis fiksi. 

Jujur, menulis fiksi itu menyenangkan dan tingkat kepuasan yang diperoleh tidak sama dengan ketika menulis nonfiksi. Saya tidak tahu mengapa dan apakah hanya saya yang merasakannya. 

Keterbatasan saya untuk fokus mungkin menjadi salah satu pemicu saya lama tidak menulis fiksi. 
Bacaan mungkin juga mempengaruhi. Meskipun masih membaca satu-dua buku fiksi, tapi sedikit sekali jika dibandingkan dengan buku nonfiksi yang berhasil saya khatamkan dalam sebulan. 

Faktor lain bisa jadi juga karena ruang untuk tulisan fiksi saat ini sudah berkurang. Media-media cetak banyak yang tutup sehingga otomatis space untuk cerpen minggu juga berkurang. Peluang untuk dimuat semakin kecil. Demikian pula, penerbit yang menerima naskah kumpulan cerpen cukup jarang, karena dianggap tidak laku dijual. 

Hanya novel satu-satunya genre fiksi yang masih berkibar. Hanya masalahnya, sampai saat ini saya belum menulis satu pun novel, entah nanti. 

Banyak yang mendesak saya untuk menulis novel, termasuk istri saya. Bahan-bahan sudah ada saya kumpulkan, tapi saya merasa belum ada gereget. Belum ada dorongan kuat untuk menulis. 

Saya juga masih menikmati proses kreatif saya dalam menulis, meski tanpa kehadiran fiksi. Fiksi dan nonfiksi bagi saya, hanya soal pilihan. Tapi memang harus dicoba sekali-kali, agar keluar dari zona nyaman. 

Dengan demikian kita memiliki banyak pengalaman menulis lintas genre, sehingga kemudian kita bisa menentukan posisi paling nyaman, tulisan seperti apakah yang bisa membuat kita menjadi penulis profesional. 

Termasuk novel, harus tetap saya coba. Karena dari berbagai macam genre tulisan, hanya novel yang belum pernah saya bikin. Jadi ini semacam tangtangan untuk menaklukkan diri sendiri. Saya harus menulis novel. 

Saya tidak ingin terlalu lama absen menulis fiksi. Mungkin saya akan mulai dengan menulis cerpen lagi, sambil atur napas untuk menulis novel. Cerpen bagi saya jauh lebih mudah, meskipun sebagain teman saya mengatakan cerpen lebih sulit ketimbang novel. Ada bahkan yang mengatakan, nonfiksi lebih sulit daripada fiksi. 

Padahal, bagi saya, menulis nonfiksi itu sama mudahnya dengan berbicara. 

Termasuk ketika menulis ini. 

Sidoarjo, 12 September 2020

sumber gambar: thenation.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Ketika Fiksi Kehilangan Daya Tariknya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel