Jalan Kreatif 12 Sastrawan


Buku ini memuat proses kreatif 12 sastrawan Indonesia terkemuka, antara lain: Linus Suryadi AG, Darmanto Jatman, Titis Basino P.I., Rendra, Saini K.M.,B.Soelarto, Toety Heraty, Y.B.Mangunwijaya, Muhammad Ali, Ramadhan K.H.,Utuy T.Sontani, dan Achdiat K. Mihardja. Kedua belas sastrawan tersebut bercerita tentang bagaimana mereka menghasilkan karya-karya yang tak lekang zaman. Mari kita simak satu persatu.

Linus Suryadi AG, penyair yang dikenal luas berkat karya monumentalnya Pengakuan Pariyem ini mengaku mulai menulis puisi sejak 1970. Ia belajar secara otodidak dengan banyak membaca karya penyair-penyair hebat lalu membandingkannya dengan karyanya sendiri. Ahasil, ia merasa puisi-puisi bikinannya sangat buruk. Tetapi ia terus belajar dengan cara membandingkan seperti itu. Mencoba terus menulis dan membandingkan. Ketika puisi-puisinya sudah ia anggap membaik, ia semakin meningkatkan mutu bacaan-bacaannya. Ia melahap karya Conrad Aiken hingga T.S.Eliot. dengan cara seperti inilah, setahun kemudian sajak pertamanya dimuat di majalah Basis. Linus yang juga mengatakan bahwa masa-masa produktifnya meroket di bulan-bulan yang berakhir dengan suku kata “ber” mengaku tidak pernah memikirkan tujuan atau amanat atau harapan yang ingin dicapai ketika sedang menulis. Ia mementingkan proses terlebih dahulu, menulis mengikuti kata hati terlebih dahulu baru merumuskan tujuan setelah tulisan selesai.

Seperti halnya Linus Suryadi, Darmanto Jatman juga seorang penyair. Ia mengaku banyak menulis sajak yang terinspirasi dari perasaannya sendiri, kadang dari kata-kata atau gabungan kata seperti misalnya frasa “hanya daun” yang menurutnya banyak dipakai dalam sajak-sajaknya. Terkadang ia menulis sajak juga karena didorong hasrat untuk berdialog, bahkan ia pernah membuat sajak berbentuk dialog dibantu Kuntowijoyo dan Y.B.Mangunwijaya.

Mengenai Titis Basino P.I., baginya menulis hanyalah pekerjaan sambil-lalu untuk mengisi waktu dan juga untuk menyampaikan pesan orang lain yang tidak sempat diungkap di publik. Namun demikian, tulisan Titis Basino dimuat juga dibeberapa media. Menariknya, Titis tidak mengambil honor yang diberikan redaksi dan ampaknya ia memiliki idealisme yang tinggi dalam kerja kepengarangannya. Itu terbukti dari perkataannya: “Memperhatikan kemauan pembaca atau redaksi bukanlah ukuran seorang penulis yang baik. Kita menulis apa adanya semampu pemikiran kita dan setelah kita lempar ke masyarakat, merekalah yang berhak menilai. Jadi, kita tidak perlu menjaga tulisan kita itu sebagaimana kita membesarkan seorang bocah.” Sepertinya saya agak setuju dengan pendapatnya ini.

Idealisme Titis mungkin juga diwarisi Rendra sehingga dari tangan si burung merak ini lahir karya-karya emas yang terkenal. Sebut saja diantaranya Sajak-Sajak Sepatu TuaNyanyian Angsa, dan Malam Stanza. Karya-karya Rendra selalu lahir dari penghayatan yang dalam terhadap fenomena kehidupan sosial-politik-ekonomi juga penghayatan terhadap alam dan lingkungan. Tetapi di luar itu, Rendra tetap tidak melupakan riset dan data yang valid untuk memperkaya dan memperkuat karya-karyanya.

Lain lagi dengan proses kreatif Saini K.M., sastrawan satu ini menafsirkan aktivitas menulis sebagai upaya menembus “dinding-dinding” kesepian. Ia sangat menyukai tanggapan atau kritik terhadap karya-karyanya, meskipun kritik yang disampaikan tidak tepat atau bahkan bersifat menjatuhkan sekalipun. Saini mengatakan justru dari konfrontasilah seringkali kreativitas berhamburan keluar. Pemberontakan yang mengiringi proses lahirnya sebuah karya akan membuat karya tersebut memiliki kekuatan. Dan barangkali ada benarnya, sebab saya banyak membaca karya-karya sastrawan peraih Nobel Sastra yang memiliki ruh pemberontakan yang sangat kuat, entah itu berupa protes sosial, protes terhadap pemerintah, atau pun protes terhadap sistem kehidupan.

Yang menarik adalah B.Soelarto, ia terinspirasi menulis cerpen karena kisah cintanya yang kandas. Sehingga masa-masa awal tulisannya dipenuhi cerita-cerita tentang percintaan. Namun dari sanalah kemudian ia menjadi kencanduan menulis. Maka ia pun menulis sebuah lakon dengan gaya sketsa yang kelak kita kenal dengan judul Domba-Domba Revolusi. Lakon ini terinspirasi dari kejadian yang dialami seorang pengamen keroncong yang bercerita kepadanya, bahwa suatu hari tatkala si pengamen menginap di losmen di sebuah kota yang dikepung tentara Belanda, ia nyaris jatuh cinta pada wanita pemilik losmen dan nyaris juga nyawanya melayang. Kondisi ini membuat semangatnya berkobar dan pada akhirnya turut berjuang melawan pasukan Belanda.

Petualangan kreatif Toeti Heraty - seorang penyair wanita yang sajak-sajaknya banyak disuka sang Paus Sastra, H.B.Jassin - tak kalah menarik. Toeti memiliki minat studi matematika namun akhirnya ia terjebak di fakultas kedokteran. Tapi tidak sampai tamat, ia pindah haluan ke fakultas psikologi. Setelah lulus fakultas psikologi ia malah banyak belajar filsafat dan meninggalkan profesinya sebagai dosen universitas Padjadjaran. Bagi Toeti, menulis sajak tak lebih dari sekadar mencatat kesan-kesan. Namun sekadar mencatat kesan ini harus dituliskan dalam keadaan bagaimanapun ketika telah muncul dorongan spontan untuk menuliskannya. Maka tak heran jika terkadang Toeti mengambil apa saja yang bisa ia raih untuk ditulisi, tak peduli sobekan kertas, bekas amplop, dan sebagainya. “Bila tidak dituliskan, akan mengganggu berkepanjangan,” tuturnya.

Y.B.Mangunwijaya, dalam tulisannya lebih banyak menceritakan proses kreatif dalam setiap pembuatan novel-novelnya yang banyak menyihir itu. Namun saya ingin mengulas singkat saja proses kreatif yang ia ceritakan dalam pembuatan Novel Burung-Burung Manyar. Bisa dibilang, Burung-Burung Manyar adalah karya yang pada mulanya tak sesuai harapan. Semua penulis ingin mengabadikan kota keluarganya, Magelang, dengan latar perang kemerdekaan. Didorong juga kejengkelannya terhadap pemalsuan dan pemitosan sejarah. Akan tetapi setelah berjalan sekian lama, penulis tidak puas. Berkali-kali ia menambal –sulam karya-karyanya, membongkar-pasang setiap adegan hingga akhirnya ia memutuskan stag dengan kekecewaan. Namun peristiwa suatu hari telah memeberi inspirasi besar dalam hidupnya. Tepatnya ketika ia berjalan-jalan di toko buku loakan dan menemukan  buku mengenai perilaku binatang-binatang Nusantara yang dikarang Dr.H.C.Delsman. Di sanalah ia tertarik dengan perilaku burung-burung manyar. Dan seperti mendapat ilham untuk melanjutkan novelnya yang sempat terbengkalai. Namun tentu, ini hampir sama dengan membuat novel baru. Ia merombak total novelnya itu, memberikan nuansa lokal Jawa  dengan cerita wayang, sehingga akhirnya lahirlah novel yang mengeram sekian tahun dan diberi judul Burung-Burung Manyar . novel ini pulalah yang kemudian memenangkan penghargaan sastra bergengsi Asia Tenggara, SEA Write Award tahun 1983.

Sastrawan kesembilan yakni Muhammad Ali. Ia mengaku karya-karyanya banyak merefleksikan kesedihan dan kejengkelan terhadap tingkah polah manusia beserta segala keacuhan dan kebangkrutan di semua lini yang mengiringi perjalanannya. Namun demikian, Muhammad Ali mengaku bukan pengarang produktif karena ia hanya sanguup menulis 50 cerpen, 10 novel, 60 sajak, dan beberapa esai dan lakon di usianya yang setengah abad.

Berbicara tentang proses lahirnya karya hingga dapat dinikmati publik, tidak hanya dialami Y.B.Mangunwijaya dan sastrawan lainnya, Ramadhan K.H. juga mengalamai hal serupa. Karyanya Royan Revolusi baru diterbitkan setelah 16 tahun sejak pertama kali ia memulai penulisannya. Bagi Ramadhan K.H menulis adalah kebutuhan rohani dan ia merasa sangat senang dan puas memilih jalan hidup sebagai pengarang, meskipun ia tak ambil peduli dengan uang yang ia terima dari hasil kerja kerasnya mengarang.

Seperti B.Soelarto, proses kreatif Utuy T.Sontani juga dimulai dengan kisah cintanya dengan seorang gadis yang berujung kecewa sehingga ia menuangkan kekecewaannya itu menjadi sebuah cerita. Paman si gadis mengatakan kepada Utuy  bahwa asmara telah menjadikannya seorang pengarang. Meski kemudian asmara itu kandas karena si gadis menikah dengan orang lain.

Sebagai pamungkas buku ini, Achdiat K.Mihardja menceritakan proses kreatif yang utamanya mengulas romanlnya berjudul Atheis. Dan nampaknya saya tak dapat membuat simpulan atas ulasannya yang panjang lebar kecuali silakan bagi Anda yang penasaran untuk membacanya langsung, setelah tentu, terlebih dahulu membaca roman Atheis yang fenomenal itu.

Rafif, 25 Januari 2013. 14.31 wib
Review Proses Kreatif Jilid 3. KPG, 2009. 208 halaman

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Jalan Kreatif 12 Sastrawan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel