Penyakit Cinta
Mungkin tak banyak yang tahu roman Hamka yang satu ini. Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wick sepertinya lebih melambungkan nama beliau sebagai seorang pengarang. Padahal Angkatan Baru tak kalah menarik dari dua roman yang banyak diburu itu.
Ini kisah tentang seorang perempuan bernama Sjamsiar. Lulusan diploma sekolah menengah agama yang ketika kembali ke kampung halamannya melihat betapa kolotnya orang-orang kampung dibandingkan dirinya yang telah mengecap kehidupan modern. Ia dibanggakan keluarga dan orang-orang se-kampung tapi ia sendiri tak mau terjun ke masyarakat, hanya duduk diam di rumah sambil membaca roman-roman percintaan.
Sjamsiar pun belum memiliki pekerjaan. Seharusnya ia sudah mengajar, menjadi guru di sebuah madrasah. Tapi itu masih menjadi angan-angan. Termasuk pula harapan keluarga, di usianya yang telah matang selayaknya ia sudah menikah. Tapi Sjamsiar pilih-pilih orang. Banyak lamaran yang ia tolak, banyak perjodohan yang ia tentang. Ia hanya ingin laki-laki sederajat dengan dirinya, juga laki-laki yang aktif di pergerakan, yang modern.
Maka tersebutlah di sebuah kampung sebelah, seorang pemuda bernama Hasan. Lulusan sekolah Agama juga. Suatu ketika ia diundang ke sebuah pengajian di kampung Sjamsiar. Demi melihat kecerdasan Hasan, keluarga Sjamsiar tertarik menjodohkan mereka. Sjamsiar pun nampaknya tertarik. Dan mereka menikah, tanpa satu pun halangan. Meski menurut kepercayaan orang kampung, menikah dengan orang kampung lain berarti tidak laku di kampungnya sendiri.
Hasan dan Sjamsiar yang tengah dilanda kasmaran dan cinta yang indah membayangkan mereka akan hidup berbahagia. Bahkan Hasan di suratnya terdahulu, yakni sebelum menikah, pernah menulis untuk Sjamsiar, “Bila nama adinda sebagai potongan dari nama matahari , tentulah diri adinda kelak membawa cahaya kepada hari depan dan hidupku.”
Memang mereka berbahagia di awal, tapi setelah enam bulan berlalu, mulai terasa sedikit goncangan. Goncangan di hati Hasan. Sebabnya, sang istri hanya pandai bermain cinta, hanya pandai merias diri. Ia tak pernah mencucikan baju suaminya, tak pernah menyiapkan makanan dan minum, pendeknya tak pernah mengurus urusan rumah tangga. Semua itu dikerjakan oleh keluarga besar Sjamsiar. Sjamsiar sendiri hanya ingin selalu dicumbu, bahkan tak pernah mengerti saat Hasan sibuk belajar untuk memperdalam ilmu yang berkaitan dengan tugasnya sebagai seorang guru. Justru Sjamsiar sering mengganggu suaminya.
Karena ulah Sjamsiar itu, sekolah dan murid-muridnya jadi kurang terurus. Banyak muridnya yang pergi, masyarakat pun menjadi kurang hormatnya pada dia, mereka menganggap ilmu Hasan karam di antara dua betis Sjamsiar (halaman 30). Sehingga tibalah masa bagi Hasan untuk menunjukkan ketegasannya sebagai kepala rumah tangga, sebagai lelaki yang menjadi nahkoda bagi biduk yang telah berlayar.
Maka suatu hari, dinasehatilah istrinya baik-baik. Diajarkannya bahwa keluarga itu tidak hanya untuk bercinta-cintaan tapi banyak tugas yang harus diselesaikan, disampaikanlah bahwa ia ingin sang istri bergaul dengan masyarakat, membantu apa yang bisa dikerjakan. Namun rupanya Sjamsiar enggan dan keras kepala. “Bukan untuk jadi guru saja kita bersekolah,” kata Hasan,”tetapi untuk kenal sakit senang hidup.” (halaman 32)
Setelah Hasan menyampaikan nasehat itu, ia banyak merenung, ia jarang pulang ke rumah, kalau pun pulang terkadang sampai sangat malang. Hal ini membuat Sjamsiar hanya murung di meja tulis. Tak ada yang dilakukannya selain bersolek dan membaca roman-roman percintaan. Sampai suatu ketika timbul dalam fikirannya untuk menulis surat pada Sjamsuddin, sahabat kecil yang dulu juga sering dikiriminya surat. Surat itu bersambut dibalas oleh Sjamsuddin yang tidak tahu kalau Sjamsiar telah menikah. Sjamsuddin bahkan mengajak Sjamsiar menikah dengannya.
Petaka itu terjadilah. Hasan mengetahui surat balasan dari Sjamsuddin. Maka ditulisnya surat buat Sjamsuddin, diceritakanlah bahwa ia adalah suami dari Sjamsiar dan dikabarkan pula bahwa jangan sampai kejadian ini diketahui siapapun. Sjamsuddin juga rupanya maklum seraya memohon maaf atas kesilapan.
Namun, hal itu tak langsung membuat Hasan tenang, pikirannya tentang Sjamsiar yang mencoba selingkuh diam-diam membuatnya berpikiran bukan-bukan. Maka ketika pulang, ia menceritakan pada keluarganya apa yang dilakukan Sjamsiar dan musyawarah keluarga besar memutuskan agar Hasan menceraikan Sjamsiar. Keputusan itu tak bisa lagi ditawar.
Setelah datang surat cerai itu, Sjamsiar resmi menyandang status janda. Ia kembali menulis surat untuk Sjamsuddin, agar mantan karibnya itu mau menjadikannya sebagai khaddam. Namun Sjamsuddin menolak.
Semakin lama, Sjamsiar menjadi semakin tua. Ia dipinang seorang saudagar untuk dijadikan istri ketiga. Dan diterimanya pinangan itu, meski Sjamsiar tak cinta pada laki-laki itu. Ia menangis sedih menjelang ia berpisah dengan orang tua dan keluarga besarnya.
Namun rupanya, itu semua menjadi pelajaran berharga bagi Sjamsiar, pada akhirnya ia hidup beruntung dan bahagia dengan suaminya.
Roman yang saya baca ini masih menggunakan ejaan lama dan ada beberapa bahasa melayu yang saya tidak mengerti. Terbit tahun 1962 dengan kondisi buku yang lumayan bagus, beruntung sekali menemukannya di lapak online sehingga melengkapi koleksi karya-karya Hamka milikku yang jumlahnya sudah puluhan.
Rafif,10 Oktober 2013. 07.36 wib
Review Angkatan Baru. Penerbit Hikmat,1962. 48 halaman. Karya Hamka
0 Response to "Penyakit Cinta"
Posting Komentar