Divisi Wanita Ikhwanul Muslimin

Divisi Kewanitaaan Ikhwanul Muslimin (Divisi AkhwatMuslimat) terbentuk pada tahun 1922 dan terpilih sebagai ketua divisi di Kairo adalah Sayyidah Shalihah Hajjah Labibah Ahmad. Dalam pidato pertamanya ia berkata, “Asas perbaikan umat adalah perbaikan rumah tangga, sedangkan perbaikan rumah tangga dimulai dari pembenahan pribadi para pemudi. Sebab wanita adalah guru bagi dunia, dialah yang menggoyang tempat lahir dengan tangan kanannya dan menggoncangkan dunia dengan tangan kirinya.”

Setelahnya, divisi Akhwat Muslimat semakin melebarkan sayapnya. Membentuk Lajnah-Lajnah dan terlibat dalam beberapa proyek sosial. Meski pada perkembangan berikutnya, para akhwat mengalami masa-masa yang paling sulit. Sebagaimana dialami oleh keluarga Mursyid ‘Am, Hasan Hudhaibi, bersama istrinya, Ummu Usamah dan anak-anaknya dijebloskan ke dalam penjara. Demikian pula yang dialami keluarga Sayyid Qutb. Namun itu semua tak menyurutkan perjuangan divisi AkhwatMuslimat untuk terus menyemai benih kebaikan.

Mahmud Muhammad Al-Jauhari, penulis buku ini dalam bab kedua memaparkan tentang kewajiban ukhti muslimah. Mulai kewajiban mereka terhadap agamanya, akalanya, rumahnya, masyarakatnya, kewajiban untuk menjadi teladan dan menyebarkan dakwah. Kemudian pada bab ketiga mengenai manhaj pembinaan intektual dan mental AkhwatMuslimat. Dibentuk usrah (halaqah) yang dipimpin oleh seorang naqibNaqib inilah yang mengawal agar tujuan manhaj tercapai, tidak hanya terbatas pada pengetahuan tapi sampai pembentukan kepribadian muslimah dan pengoptimalan seluruh potensinya.

Adapun Manhaj halaqah yang dimaksud meliputi: Aqidah, Fiqih Ibadah, Al-Quranul Karim & Ulumul Quran, Sunah yang suci, sirah nabawiyah, sistem sosial Islam, pengetahuan sejarah, berbagai tantangan Islam. Adapula nasehat-nasehat umum seperti keharusan memiliki perpustakaan pribadi, menghafal nasyid untuk membangkitkan semangat.

Namun yang paling menarik dari buku ini, pada bab terakhir, ada kisah-kisah akhwat aktivis IM, khususnya kisah tentang Sayyidah Na’imah, istri dari Mursyid ‘Am Hasan Al-Hudhaibi. Mulai dari penolakannya untuk menerima mobil dinas yang biasa digunakan suaminya, hingga ketegarannya membersamai anak-anak tercinta tatkala sang suami dijebloskan dalam penjara. Berkata ia pada Sayyidah Hanim yang datang dengan maksud untuk menghiburnya, “Wahai Sa’diyah Hanim, saya mohon agar Anda mendengarkan dengan baik dan menyampaikan kepada tuan menteri, bahwa Hasan Hudhaibi tidak memegang kepemimpinan Ikhwanul Muslimin kecuali setelah menyaksikan pendahulunya yang agung, Asy-Syahid Hasan Al Banna telah diculik dan dibunuh dengan terang-terangan di jalan protocol, di ibukota negara. Hudhaibi tidak menerima untuk menjadi pengganti beliau, kecuali menunggu akhir kehidupan yang sama dengan beliau. Sungguh, ia telah menjual dirinya untuk Allah dan kami juga menjual jiwa kami bersama untuk Allah swt. Maka tak seorangpun akan melihat kami, kecuali dalam ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan. Sebab kami serahkan sepenuhnya kepada Allah, kami mengharapkan pahalaNya, dan kami sangat berbahagia bila dapat menyusulnya sebagai syuhada.”

Beliau juga menulis surat kepada Raja Arab, Sa’ud bin Abdul Aziz, yang telah menyelamatkan Hudhaibi dari hukuman mati, “Wahai tuan raja yang mulia, sesungguhnya saat kami mengucapkan rasa terima kasih yang tidak terhinggga, atas kepedulian tuan yang mulia, kami ingin menegaskan bahwa kami selalu berada dalam kontrak janji dengan dakwah dan jihad, baik Hudhaibi syahid atau hidup lebih lama lagi. Roda pertempuran tidak akan pernah berhenti. Sebab pada hakikatnya, pertarungan ini bukan pertarungan antara Hudhaibi dan Abdul Naser, juga bukan pertarungan antara Ikhwan dan dewan revolusi. Akan tetapi, ia adalah pertarungan yang abadi antara hak (kebenaran) dan kebatilan, antara keimanan dan kekufuran, antara petunjuk dan kesesatan, antara tentara Allah dan pasukan setan. Bendera dakwah akan tetap berkibar dan kerja dakwah tidak akan berhenti, meskipun ribuan syuhada dari kaum laki-laki maupun wanita telah dikorbankan sehingga kalimat Allah tertegak. Allah akan memenangkan yang haq dan menghancurkan yang batil, meskipun orang-orang jahat tidak menyukainya!”

Demikianlah, ketegaran dan keberanian Ummu Usamah menjadi cermin dan teladan bagi seluruh akhwat muslimat. Maka tak heran, jika sampai sekarang, para akhwat IM masih terus berkontribusi aktif dalam perjuangan. Bahkan saat pecah revolusi Mesir, mereka ikut turut ke jalan, dan saat Mursi digulingkan serta para ikhwan ditangkapi, akhwat muslimatlah yang berada di garda ke depan, setiap hari berdemonstrasi menentang rezim tiran As-Sisi.

Rafif, 24 Februari 2015. 8.19 wib
Review Divisi Wanita Ikhwanul Muslimin; Peran dan Sejarah Perjuangannya. Al- I’thisom,2001. 164 halaman. Karya Mahmud Muhammad Al-Jauhari.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Divisi Wanita Ikhwanul Muslimin"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel