Memaknai Kembali Bulan Suci
Buku-buku yang membahas ihwal puasa dan hari raya mungkin sudah cukup banyak beredar, mulai yang paling tipis sampai yang paling tebal, mulai yang ditulis penulis dalam negeri sampai terjemahan. Tapi buku “Tuntunan Puasa, Tarawih dan Iedul Fitri” karangan Hamka ini lain dari yang lain. Ia tak banyak berbicara tentang tatacara atau praktek melaksanakan ibadah puasa, tetapi lebih kepada bagaimana memaknai kembali bulan mulia itu. Bagaimana menghadirkan ruh dan semangat perjumpaan dengan sang bulan penuh ampunan.
Tidak hanya membedah hakikat puasa, Hamka juga menyajikan kisah-kisah tentang puasa yang menarik di dalam buku, mengungkapkan juga pandangannya tentang mengapa ibadah puasa itu perlu adanya bagi manusia. “Perut yang panjangnya hanya sejengkal dan lebarnya hanya dua jengkal,” tulis beliau, “tetapi dari perut sejengkal panjang dan lebar dua jengkal itulah pangkal kemelut dunia.” (Halaman 30). Hawa nafsu jika diumbar hanya akan mendatangkan kesengsaraan baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Karena perut orang saling sikut dan berebut, karena yang di bawah perut orang menjadi tak ubahnya sebagai binatang liar.
Namun demikian, Hamka sebagaimana pula yang diajarkan oleh Islam, tidak lantas melarang orang mengekang nafsunya sama sekali, sebagaimana puasa yang dijalankan hanya di siang hari untuk kemudian berbuka di malam harinya. Oleh karenanya Hamka mengkritik berbagai pandangan ilmuwan dan ahli filsafat Barat yang setelah mengetahui bahwa hawa nafsu banyak menciptakan kerusakan kemudian memilih untuk memangkasnya habis sebagaimana yang diajarkan sastrawan dan filsuf peraih nobel, Jean-Paul Sartre yang melarang manusia kawin atau seperti Marx yang mengutuk materialisme dan kebutuhan perut sebagai penyebab kerusakan hingga kemudian membuat pertentangan kelas orang-orang kaya dan miskin.
Kegelisahan Hamka lebih kepada apa yang terjadi di luar bulan suci, di bulan-bulan setelahnya, di mana manusia seakan-akan kembali menjadi buas setelah “dijinakkan” oleh puasa. Latihan menundukkan hawa nafsu ternyata masih sebatas ritual, belum dipraktekkan pada keseluruhan hidup.
Dalam buku ini juga dibahas sedikit perihal perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih bukan untuk memvonis yang benar dan salah tapi beliau memaparkan dalil-dalil dari pendapat yang berbeda itu agar bisa saling menghargai. Di bahas pula hakikat dan tatacara berhari raya, sebelum kemudian buku ini ditutup dengan do’a-do’a.
Rafif, 20 September 2013. 07.20 wib
Review Tuntunan Puasa, Tarawih dan Iedul Fitri. Pustaka Panjimas,2007. 133 halaman. Karya Hamka
0 Response to "Memaknai Kembali Bulan Suci"
Posting Komentar