Haruskah Membaca Buku Hingga Tuntas?


Dalam sebuah sesi diskusi tentang dunia literasi di Kota Surabaya, seorang peserta memprotes tentang ketidaktuntasan siswa membaca buku dalam program Gerakan Literasi Sekolah. Siswa diminta untuk membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Lalu mereka diharuskan membuat resume atau rangkuman dari apa yang telah mereka baca.

“Saya tidak setuju,” tegasnya. Laki-laki yang memperkenalkan diri pada saya sebagai pemerhati pendidikan. “Siswa tidak akan pernah menuntaskan apa yang ia baca. Esoknya, ia pasti akan membaca buku baru. Ini seperti mengajarkan kepada mereka untuk tidak pernah menyelesaikan apa yang sudah mereka mulai.” Kurang lebih seperti itu ia berargumen.

Saya sepakat dengan yang ia sampaikan. Ketuntasan membaca buku penting bagi siapapun, tidak hanya siswa, untuk mendapatkan pemahaman utuh tentang apa yang ia baca. Hatta, jika itu buku fiksi sekalipun. Ia butuh memahami seluruh alur cerita dengan baik, sehingga seluruh pesan penulis bisa tersampaikan dengan utuh. Ketidaktuntasan membaca bisa jadi berakibat pemahaman yang keliru tentang sebuah buku.

Kerapkali kita melihat dengan jelas dan meyakinkan, sebuah artikel yang dibaca sepotong-sepotong. Mungkin hanya judulnya saja, mungkin hanya sampai paragraf pertama, telah menciptakan persepsi yang salah atau justru berkebalikan dengan yang dimaksud oleh penulis.

Apalagi buku!

Kalau sekadar untuk referensi tulisan, boleh-boleh saja. Tetapi saya menyarankan, untuk tetap membaca bab-bab lain yang berhubungan. Uraian-uraian yang lebih panjang sangat membantu kita untuk memahami persoalan.

Inilah yang membuat Nicholas Carr dalam penelitiannya lebih menyarankan untuk membaca buku daripada artikel-artikel pendek di internet. Buku membuat kita berpikir lebih komprehensif dan mendalam. Sementara artikel-artikel pendek membuat kita berpikir instan dan dangkal.

Ketuntasan. Betapa menjadi hal yang sangat penting ketika membaca. Saya setuju, kita harus terbiasa untuk menyelesaikan apa yang sudah kita mulai. Memang berat, ketika itu coba saya praktekkan. Tapi saya bertekad, untuk selalu mengkhatamkan buku yang sudah saya baca.

Karena saya memiliki komitmen untuk itu, maka saya hanya memilih buku-buku yang saya anggap bagus untuk dibaca. Jika saya mulai bosan, saya ambil buku lain, tetapi buku yang belum selesai itu saya anggap hutang. Saya baca lagi di lain kesempatan. Begitu seterusnya, hingga tuntas.

Kalau ternyata, buku yang sudah kadung dipilih itu kurang menarik, saya baca dengan lebih cepat. Saya berusaha menemukan hal-hal penting yang bisa jadi terselip di beberapa bab atau kalimat. Buku jelek bagi saya, juga bermanfaat. Setidaknya, melahirkan tulisan review yang sedikit pedas dan menggigit.

Saya sudah mengkhatamkan ratusan atau bahkan ribuan buku. Tetapi masih ada ribuan pula yang mengantri untuk saya tuntaskan. Kadang saya berharap, Tuhan memberikan saya umur panjang agar buku-buku itu terpenuhi haknya untuk dibaca.

Barangkali saya perlu meniru semangat Richard Heber, warga Inggris yang membaca semua buku-bukunya yang berjumlah 200-300 ribu hingga tuntas. Ia selalu membaca buku hingga maut menjemputnya. Buku-bukunya ditampung dalam delapan rumah yang tersebar di Inggris dan Eropa.

Jika sehari saja berhasil menuntaskan satu buku. Butuh waktu kurang lebih setahun untuk menyelesaikan seribu buku. Dan butuh sepuluh tahun untuk membaca 10 ribu buku. Sanggupkah kita? Sekarang saya tanya, berapa jumlah buku yang berhasil kalian tuntaskan sepanjang hidup? Saya percaya, jarang sekali yang bisa menyamai rekor Richard Heber. Termasuk saya. [rafif]

sumber gambar: mommiesdaily.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Haruskah Membaca Buku Hingga Tuntas?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel