Kenapa Menulis Sajak?



"Mengapa saya memilih menulis sajak?" tulis Subagio Sastrowardoyo dalam Keroncong Motinggo. Pertanyaan yang menggelitik, mengingat pertanyaan itu diajukan oleh seorang penyair kepada dirinya sendiri.

"Ketika saya mendapat ilham," tutur Subagio, "kata-kata dengan sendirinya menetes dari batin saya dan menyusun sendiri menjadi sajak."

Subagio mengatakan, saat menerima luapan ilham, ia tak peduli apakah sajak yang ia tulis itu dapat dimengerti oleh pembaca atau tidak. Ia tak peduli apakah sajak yang ia tulis sesuai teori dan aturan atau tidak.

Ia hanya merasakan keterpukauan pada nilai-nilai keindahan, dan hal itu mendesaknya untuk menulis. Suatu ketika ia melihat nyala api lilin dan serta merta mengingatkannya pada nyawa yang menyala dengan abadi setelah jasad hilang. Maka lahirlah sajak "Genesis".

Menulis sajak bagi Subagio Sastrowardoyo dan mungkin juga bagi sebagian yang lain adalah pengalaman batin yang tak tergantikan. Tak bisa dituang ke dalam bentuk yang lain. Kalau pun bisa, ia akan kehilangan kepadatan, estetika, dan keindahannya.

Subagio mengumpamakan sajak seperti lukisan surealis dan abstrak. Sementara prosa adalah lukisan naturalis. Sulit bagi pelukis aliran abstrak untuk melukis gaya naturalisme. Pun mungkin sebaliknya.

Sajak mungkin terlihat padat dan sederhana, namun bisa saja ia memuat hikmah yang lebih kaya. Hikmah yang dikandung sajak itulah, kata Jami, yang membuat sajak menjadi indah.

Sidoarjo, 22 Maret 2020

sumber gambar: idntimes.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Kenapa Menulis Sajak?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel