Kisah Sadis Pembantaian 1965


Jika kita mengenal peristiwa G 30 S sebagai pembunuhan keji terhadap para jenderal melalui film yang sering diputar semasa orde baru, maka buku ini memvisualisasikan salah satu pembataian terbesar sepanjang masa oleh tentara dan sebagian rakyat terhadap orang-orang yang dituduh menjadi simpatisan dan kader PKI.

Tepatnya tahun 1965, sebagaimana baru-baru ini film documenter “The Act of Killing” yang menghentak jagad tanah air dan dunia mengisahkan pengakuan para jagal yang terlibat operasi pembersihan orang-orang PKI. Mengerikan ketika saya menyaksikan bagaimana Anwar Congo dengan bangga menceritakan dan mereka ulang pembantaian massal itu.

Sekilas, buku ini juga mengulas film “The Act of Killing” yang menggemparkan itu, selain juga penuturan dari jagal-jagal lainnya se-Indonesia. Mulai dari madiun, Jombang, Kediri, Bali, hingga. Tidak hanya melibatkan tentara, barisan pemuda pancasila, dan rakyat biasa. gerakan ini juga didukung oleh para kyai dan santri NU. Sebut saja salah satunya, Pondok Pesantren Lirboyo yang banyak berperan dalam aksi penumpasan ini. Seperti yang kita ketahui, permusuhan kaum santri dengan PKI sudah lama berkobar, bahkan para kyai dan santri NU tidak sedikit yang menjadi korban kebengisan PKI. Maka aksi yang mendapat legitimasi dari TNI ini seolah dendam yang terlampiaskan.

Diceritakan dalam buku ini, bagaimana para jagal bekerjasama dengan TNI untuk menumpas orang-orang PKI. Terkadang tentara yang mengangkut para calon korban dengan truk, diturunkan di sebuah tempat, kemudian rakyat yang menjadi eksekutornya. Terkadang para jagal sendiri yang turun tangan mencari calon korban, berbekal daftar yang diperoleh dari TNI.

Namun para jagal mengaku, tidak mudah membunuh orang-orang yang dituduh PKI itu, selain karena ada yang belum berpengalaman membunuh, banyak juga diantara orang yang hendak mereka bunuh memiliki ilmu kebal. Bahkan berdasarkan penuturan salah seorang yang menebas leher orang PKI, kepala dan badannya bisa tersambung lagi.

Selain itu, ternyata tidak semua yang hendak mereka bunuh secara massal itu tidak beragama. Ada yang ketika dibunuh mengucapkan dua kalimat syahadat, ada yang juga fasih melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an sampai-sampai sang jagal gemetaran dan pedangnya terjatuh.

Kisah mengerikan ini tentu tidak kita harapkan terulang di masa depan. Para keluarga korban maupun mantan jagal menyadari bahwa dengan alasan apapun, melenyapkan nyawa manusia adalah perbuatan keji dan nista. Cukuplah sejarah kelam masa lalau dijadikan pelajaran untuk mengukir sejarah yang terang-benderang.

Rafif, 27 April 2014, 6.36 wib
Review Pengakuan Algojo 1965. Tempo.178 halaman. Karya Kurniawan dkk

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Kisah Sadis Pembantaian 1965"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel