Pengusaha Buku Vs Pegusaha Kuliner



Seorang teman membagikan poster seminar wirausaha di grup whatsapp. Lalu salah seorang anggota grup berseloroh, “Dari semua pengusaha yang menjadi pembicara adalah pengusaha kuliner.” Lalu ia melanjutkan, “Jadi kalau mau sukses jadilah pengusaha kuliner. Bukan pengusaha buku.”

Kebetulan sekali ada beberapa anggota grup yang punya usaha berkenaan dengan buku. Mulai toko buku, persewaan buku, hingga penerbitan. Saya termasuk satu diantaranya. Lalu saya bilang, “Sukses mencerdaskan anak bangsa, insya Allah.”

Memang pengusaha buku tak banyak dipandang, namun disadari atau tidak mereka punya peran penting dalam menyemarakkan dunia literasi di Indonesia. Kita tahu, bahwa literasi menjadi salah satu parameter keberhasilan pembangunan sumber daya manusia di sebuah negara. Jadi menjual buku, adalah salah satu aktivitas membangun bangsa. Lebih dari itu, membangun peradaban.

Kalau berbicara tentang ekonomi, pengusaha buku menjadi salah satu tulang punggung sektor ekonomi kreatif. Meski memang harus diakui, tidak sebesar industri makanan dan minuman. 
Pengusaha buku kerap kali kembang kempis mempertahankan bisnisnya. Jika bukan karena tujuan mulia, kemungkinan besar sudah banting setir sejak lama.

Saya bilang, “Kalau semua buku di toko saya terjual semua, cukup untuk membeli rumah plus mobil. Api itu andai. Andai saja.” Kenyataannya, antusiasme masyarakat untuk membeli buku menurun drastis sejak era gawai dimulai.

Saya tidak hendak mencari kambing hitam atau berkeluh kesah atas fenomena zaman now ini. Karena kenyataannya, saya bahagia dan bersyukur melakukan aktivitas yang saya cintai serta bermanfaat bagi masyarakat. Kalau pun taka da satu pun orang yang membeli buku, saya akan terus berjualan buku. Menjadi pengusaha buku. Bahkan katakanlah, andai saya harus merugi. Dan sudah berkali-kali saya alami.

Kalau ingin sukses secara materi, barangkali memang bukan bisnis buku jawabannya. Sebagaimana disampaikan, usaha kuliner mungkin lebih menjanjikan. Walaupun saya tak menutup mata, ada satu dua pebisnis buku yang tetap eksis dan berhasil meraup omset lebih dari lumayan.

Namun secara umum, menjadi pengusaha buku memiliki tantangannya tersendiri. Tak sekadar menjual. Kata Bu Iffa, salah satu pengelola taman baca di Sidoarjo, tantangannya adalah bagaimana agar terbentuk pasar pembaca.

Tentu saja saya sangat setuju dengan gagasan itu. Barangkali toko buku dan pengusaha buku lainnya, harus lebih sering mengadakan seminar atau talkshow tentang pentingnya membaca buku. Sekaligus penyadaran bahwa buku cetak tak bisa tergantikan oleh google dan kroni-kroninya.

Pengusaha buku perlu bergerak lebih dalam lagi, lebih dari sekadar menjual tapi menciptakan sebanyak mungkin pembeli yang loyal karena mereka memang mencintai buku dan menyari pentingnya membaca buku.

Usaha yang sama tak diperlukan oleh pengusaha kuliner. Mereka hanya perlu memasarkan dan mengenalkan produknya. Sebab pada dasarnya, semua orang doyan makan dan minum. Jadi tak perlu ada gerakan menyadarkan masyarakat akan pentingnya makan dan minum.

Dari segi keuntungan jelas sekali. Karena sifatnya konsumtif dari segi kuantitas, maka satu orang bisa membeli barang yang sama berkali-kali dalam waktu singkat. Ini tidak terjadi pada usaha buku. Satu orang membeli satu buku, dan kecil kemungkinan akan membeli judul buku yang sama kembali.

Bahkan terkadang, ia tidak harus membeli, cukup membacanya sambil berdiri di toko buku. Selesai. Tak harus dibawa pulang. Ia sudah dapat manfaatnya. Ini berbeda dengan usaha kuliner. Kita harus membayar jika kita menghabiskan satu produk yang sedang dijajakan.

Perbedaan ini jelas sekali. Tinggal kita memilih, mau jadi pengusaha kuliner atau pengusaha buku. Kalau saya, sebenarnya tertarik pada keduanya. Bisa saja nanti dibuat kafe literasi. Kafe yang seluruh dindingnya adalah rak-rak yang dipenuhi buku. Setiap orang bisa makan dan minum sambil menikmati buku. Atau sebaliknya, membaca buku sambil duduk santai dan menikmati secangkir kopi. [rafif]

sumber gambar: anagonzales.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Pengusaha Buku Vs Pegusaha Kuliner"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel