Memahami Kembali Makna “Rezeki”



Sudah jamak diketahui, saat kita atau orang lain mendapatkan sesuatu semisal harta, maka kita mengatakan, “Alhamdulillah, kalau rezeki tak kemana.”  Atau “Alhamdulillah sudah jadi rezekiku (engkau)”. Padahal belum tentu!

Prof. Dr. Mutawalli Asy-Sya’rawi dalam Ar-Rizku menerangkan tentang hakikat rezeki yang sebenarnya. “Rezeki itu,” tulis beliau, “ialah apa yang dimanfaatkan manusia, apakah halal atau haram, baik atau buruk.”  Lalu bagaimana jika sesuatu itu awalnya milik kita kemudian kita berikan pada orang lain? Itu bukan rezeki kita. Lalu bagaimana dengan yang masih kita miliki, tapi tidak dimanfaatkan sama sekali? Kata Asy-Sya’rawi, itu bukanlah rezeki Anda.

Jadi, belum tentu setiap hasil usaha kita yang kemudian menjadi milik kita adalah rezeki kita. Kita menerima gaji, panen hasil pertanian, mendapatkan hadiah, dan lain-lain belum tentu yang kita terima itu adalah rezeki kita. Asy-Sya’rawi kembali menegaskan: kita tidak boleh mengatakan, “Apa yang diperoleh (hasil kerja) orang itu terdapat rezekinya, rezeki istri, dan sanak keluarganya.” Bahkan bisa jadi rezeki orang lain juga, yang dia sendiri tidak mengetahuinya. Masing-masing akan dicapai oleh rezekinya dengan tepat tanpa kurang sedikit pun.

Perjalanan rezeki sampai pada pemiliknya sangat misterius. Tak ada seorang pun yang mengetahui. Itulah ketetapanNya, itulah kehendakNya, itulah takaranNya. Bisa jadi kita bersusah payah bekerja, tapi tak menghasilkan apapun dari sana. Kita justru mendapatkannya dari tempat lain. Yang kemudian menjadi milik kita. Tetapi belum tentu itu akan menjadi rezeki kita. Dalam perjalanan pulang, kita melihat seorang pengemis dan kita berikan sebagian pada pengemis tadi. Tapi belum tentu juga itu rezeki si pengemis. Si pengemis menyimpannya, tapi kemudian ternyata terjatuh tanpa sadar. Ada pemulung yang menemukannya dan pemulung tersebut memungut serta memanfaatkannya. Maka itulah rezeki si pemulung.

Sebagaimana yang disampaikan As-Sya’rawi, rezeki itu tak harus halal dan baik, sesuatu yang diperoleh dan dimanfaatkan untuk hal yang tidak baik hakikatnya juga adalah rezeki. Hanya saja jika melakukannya, kita berdosa dan mendapatkan murka Allah. Karena sebenarnya, Allah sudah menyediakan rezeki yang baik dan halal untuk kita, namun karena kita tak sanggup bersabar maka dipilihlah rezeki yang haram tadi.

Rezeki kita sudah ditentukan. Seberapa besar tak ada yang tahu. Kita hanya diperintahkan untuk ikhtiar semaksimal mungkin. Allah sudah menjamin kita sebagaimana firmanNya dalam surat Adz-Dzariyat 22-23: “Dan di langit ada rezekimu dan apa-apa yang dijanjikan kepadamu. Demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya apa-apa yang dijanjikan itu adalah sebenanya, seumpama perkataanmu.”

Jadi sebenarnya, tidak ada seorang pun yang tidak mendapatkan rezeki. Semua kebagian. Tinggal bagaimana caranya menjemput rezeki itu. Dengan cara yang baik atau cara-cara yang dilarang? Itu pilihan. Hanya orang-orang yang beriman, bersabar, dan yakin dengan ketentuanNya sajalah yang tetap tenang, tak ada gelisah dalam hatinya bahwa rezekinya akan tercuri atau tertukar. Ia yakin, Allah yang telah menjamin dan Allah tak pernah mengingkari janjiNya. Hidupnya dipenuhi qanaah dan syukur atas pemberianNya. [rafif]


sumber gambar: hidayatullah.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Memahami Kembali Makna “Rezeki” "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel