Buku Pelajaran dalam Serba Ketidakpastian



Saya bergidik ngeri membaca tulisan Muhidin M Dahlan berjudul “Wajah Buku di Tembok Sekolah Negeri”. Dalam tulisan itu, ia memaparkan dengan detil pat gulipat bisnis gelap buku pelajaran. 
Lengkap dengan nama-nama pelaku dan besaran dana yang dikorupsi. Meski kejadiannya sudah cukup lama, saya tidak yakin bahwa praktik ini benar-benar telah berakhir.

Mengingat oplahnya yang besar, memang cukup menggiurkan. Baik bagi penerbit pemenang tender maupun dinas pendidikan dan pemerintah daerah sebagai pemangku kebijakan. Anggarannya milyaran. Sehingga “keuntungan” yang didapatkan pun ratusan juta hingga milyaran.

Pasarnya jelas. Seluruh siswa di Indonesia. Mereka yang akan membeli buku pelajaran itu karena sudah diwajibkan oleh sekolah. Berapapun harganya tak masalah, yang penting mereka tetap bisa bersekolah.

Maka setiap berganti tahun ajaran, kita akan lihat bagaimana kesibukan orang tua mencarikan buku-buku itu untuk anaknya. Sebagian sudah dikoordinir sekolah, ada yang memburu di toko-toko buku, hingga lapak-lapak buku bekas.

Para pelapak langganan saya di Kampung Ilmu akan memenuhi kiosnya dengan buku-buku pelajaran bekas saat tahun ajaran baru tiba. Karena terbatasnya tempat, mereka merelakan menjual murah tumpukan komik dan majalah demi diganti denga tumpukan buku pelajaran.

Toko buku saya tak ketinggalan menjadi incaran para pemburu buku pelajaran tersebut. Ada yang menelpon, SMS, bertanya tentang buku pelajaran A. Ada yang datang langsung dan menelan ludah kecewa karena saya mengatakan, “Maaf, tidak jual buku pelajaran.” Itu dulu. Sebelum saya “insaf” karena serangan bertubi-tubi dari para calon pelanggan.

Saya pun memutuskan untuk menjual buku-buku pelajaran. Saya borong dari gudang rongsokan. Nyatanya, ada saja yang membeli. Meski banyak juga yang tidak menemukan sesuai yang mereka cari. Bagaiman tidak, mereka mencari sesuai foto cover buku pelajaran edisi revisi. Edisi baru. Sementara yang saya jual adalah buku-buku lama.

Itulah efek sering gonta-ganti. Saya lihat seperti buku tematik untuk SD, setiap tahun direvisi, covernya diganti. Padahal saya lihat, intinya sama saja. Pelajarannya sama. Apa ini demi menghabiskan anggaran yang saya sebutkan di awal tadi, hanya Tuhan yang tahu.

Dulu kita ingat, perubahan kurikulum cepat sekali terjadi. Sampai-sampai beberapa pelapak bangkrut gara-gara ini. Sebut saja Pak “S” yang pernah cerita pada saya, sempat mengalami masa jaya dengan berjualan buku pelajaran. Setelah kurikulum sering ganti, jualannya tidak laku. Padahal masih banyak stok buku yang dimilikinya. Akhirnya, ia pun memutuskan tutup dan berjualan di rumah.

Bisnis buku pelajaran memang bisnis buku yang beresiko tinggi. Meski, keuntungannya juga cukup menggiurkan. Oleh karenanya, saya memilih menjual buku-buku pelajaran bekas saja. kalau tidak ada yang beli, setidaknya tidak membuat saya termehek-mehek. Namun demikian, saat ini saya mulai mengurangi kulakan buku-buku pelajaran, mengingat stok mulai menumpuk. Dulu malah sempat ditawari berton-ton buku-buku tematik. Untung tidak saya ambil, karena ternyata, yang edisi lama sudah jarang ada yang mencari, alias tidak laku.

Kalau memang mau menjual buku pelajaran, sekalian menjual buku-buku pelajaran yang lama. Tahun 70 atau 80an. Pembelinya biasanya orang-orang “jadul” yang ingin memprasastikan kenangan. Lebih sebagai koleksi dan pemantik ingatan. [rafif]

sumber gambar: gambar.co.id

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Buku Pelajaran dalam Serba Ketidakpastian"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel