Ratna Idraswari Ibrahim, Berkarya Lewat Kursi Roda


Semangat juangnya begitu luar biasa. Meski memiliki keterbatasan fisik, Ratna Indraswari Ibrahim produktif berkarya. Tercatat lebih dari 400 buah cerita pendek, puisi, novel, dan buku nonfiksi dilahirkannya, sehingga mengantarkan ia meraih berbagai penghargaan. Salah satunya, Anugerah Kesetiaan Berkarya (2005) dari Harian Kompas.

Ratna Idraswari Ibrahim lahir 24 April 1949 dan menghembuskan napas terakhirnya pada 28 Maret 2011 dalam usia belum genap 62 tahun. Tatakan buku yang biasa ia gunakan untuk membaca, turut mengantar kepergiannya ke liang lahat. Sebuah simbol kesetiaan dan kecintaannya yang mendalam terhadap dunia literasi.

Sejak berusia 10 tahun, Ratna Indraswari Ibrahim divonis menderita rachitis (radang tulang) yang mengakibat tangan dan kakinya lumpuh. Sejak saat itu ia mengalami pergumulan pemikiran yang hebat. Sebagaimana dikutip bbc.com, bahkan ia sempat mendeklarasikan diri sebagai Atheis. Ibunya yang mengetahui hal itu hanya mengatakan, “Nanti, setelah usia 50 tahun, kau akan kembali kepada Tuhan.” Dan kata-kata itu adalah doa, Ratna benar-benar “menemukan” Tuhan.

Ratna Indraswari Ibrahim menulis sejak usia remaja. Ia rela melepas almamaternya di Universitas Brawijaya Malang untuk fokus menulis. Tetapi, karena keterbatasannya itu, tentu saja Ratna tidak bisa mengetiknya sendiri. Ia menuturkan lewat lisan kemudian asistennya yang menuliskan di komputer. Sungguh, perjuangan yang tak mudah.

Tetapi kesabaran dan ketekunanannya itu berbuah manis. Beberapa novel lahir dan melambungkan namanya sebagai salah seorang sastrawan yang disegani di tanah air. Sebut saja Lemah Tanjung (2003), Bukan Pinang Dibelah Dua (2003), dan Pecinan Kota Malang (2007). Lemah Tanjung, diakui Ratna sebagai ikon perlawanan dirinya terhadap upaya pengalihfungsian hutan menjadi perumahan elit di Malang. Bahkan Ratna, ikut terjun dalam aksi demonstrasi yang melibatkan banyak warga itu.

Idealisme Ratna sangat kental melekat pada sosoknya. Baginya sastra adalah perjuangan. Bukan alat untuk mengejar popularitas. Pemikiran itulah yang membuatnya berani menolak penghargaan dari Menteri Urusan Pemberdayaan Wanita pada tahun 1998. Ratna menolak karena merasa tak berhak menerima apresiasi yang bukan menunjukkan kapasitasnya, yaitu ia dianggap berjasa dalam hal “kepemimpinan dan manajemen peningkatan peran wanita”.

Kini, sosoknya telah tiada. Namun semangat yang ditularkannya, inspirasi yang ditransfer lewat karya-karya tak pernah berhenti menyala.

Referensi:
Harian Surya, Selasa, 29 Maret 2011
id.wikipedia.org
www.bbc.com

sumbergambar: langitperempuan.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Ratna Idraswari Ibrahim, Berkarya Lewat Kursi Roda "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel