Buku, Lokomotif Pendidikan



Judul ini terinspirasi dari pakar pendidikan, Roger Farr yang menyebut, “membaca adalah jantung pendidikan”. Senada dengan apa yang disampaikan Glenn Doman dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read, bahwa proses belajar sangat bergantung pada kemampuan membaca.

Ini berlaku sejak dulu hingga masa depan. Pendidikan tak bisa terpisahkan dari proses membaca. Sejak masih SD, siswa dibimbing dengan menggunakan buku sebagai referensinya. Mereka pun diminta untuk memiliki beberapa buku berdasarkan panduan kurikulum terbaru. Buku-buku itu memuat materi dan beragam soal untuk diselesaikan.

Para guru belajar dengan membaca buku. Murid-murid belajar dengan membaca buku. Baik itu buku cetak maupun buku elektronik. Semua tak bisa terlepas dari buku. Bahkan buku pula yang memandu dan mengarahkan mau dibawa kemana peserta didik, apa saja yang hendak diajarkan, serta bagaimana target dan tujuan.

Beruntung, Indonesia yang sedang terpuruk dalam rendahnya gairah membaca ini  memiliki program GLS (Gerakan Literasi Sekolah) yang mewajibkan semua siswa membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Sebuah awal yang baik, meski butuh banyak evaluasi dan penyempurnaan dalam pelaksanaannya. Melalui program ini, para siswa harus dibentuk menjadi pembelajar sejati lewat jam terbang membaca yang tinggi.

Semakin tertarik mereka pada buku, semakin giat mereka membaca akan secara otomatis menumbuhkan iklim pembelajaran yang sangat kondusif. Bahkan bisa dibilang sangat menggembirakan. Sebab, ruang diskusi di kelas akan menjadi semakin menarik. Proses transfer ilmu dari murid ke murid, dari guru ke murid atau bahkan sebaliknya akan terjadi. Pendidikan akan menemukan gairahnya yang meletup-letup.

Berawal dari buku dan kegemaran membaca yang semakin menggila, perpustakaan sekolah akan selalu ramai dikunjungi. Para siswa menempa dirinya sendiri untuk mengetahui dan memahami banyak hal. Buku telah menjadi semacam lokomotif yang menggerakkan banyak gerbong menuju cita-cita bangsa Indonesia, di dalam pembukaan UUD 1945: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.

Sekali lagi, GLS adalah awal yang baik. Setidaknya agar tidak terjadi lagi yang selama bertahun-tahun kita alami. Taufiq Ismail menyebutnya “tragedi nol buku”. Tak ada kewajiban membaca buku hingga tuntas dan mendiskusikannya seperti negara-negara maju. Sungguh mengenaskan.

Tetapi GLS jangan hanya dilaksanakan secara normatif. Sekadar penggugur kewajiban. Ia harus mencetak siswa-siswi yang rakus membaca. Memang tidak mudah, karena ini juga akan melibatkan peran orang tua di rumah. Tirulah Jepang misalnya, yang mewajibkan para orang tua membacakan dongeng untuk putranya menjelang tidur. Orang tua juga harus diajak untuk mencintai buku agar menular pada anak-anaknya.

Maka ini tidak hanya akan menjadi peer menteri pendidikan. Pemerintah harus bahu-membahu untuk mewujudkannya.

Jika pendidikan kita sudah jauh lebih baik lewat gerakan membaca yang masif, maka kita pula yang akan menuai hasilnya. Buah dari SDM yang berkualitas adalah pembangunan untuk kesejahteraan. Kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.[rafif]

sumber: pinterest.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Buku, Lokomotif Pendidikan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel