Berhakkah Penulis Hidup Layak?


Hari ini saya mengambil dua majalah lama secara acak. Dan sebuah koran edisi kemarin, yang belum sempat saya baca. Majalah Horison tahun 1966, Majalah Panji Masyarakat tahun 1975, dan Harian Kompas.

Ada sesuatu yang menarik. Ketiga bahan bacaan lintas zaman itu, memuat persoalan yang sama: kondisi finansial pengarang. R.M. Sachlan dalam Panji Masyarakat mengatakan, bahwa penulis-penulis yang telah menyisihkan sebagian waktunya untuk menghasilkan tulisan-tulisan dakwah selayaknya mendapatkan honor atau royalti yang pantas. “Penulis dengan perut keroncongan tidak mungkin menghasilkan karanga-karangan yang berkualitas,” katanya. Sementara itu, Majalah Horison memuat tulisan C. Day Lewis yang diterjemahkan dan diberi pengantar oleh Trisno Sumardjo. Lewis mengatakan, sudah selayaknya pemerintah memberikan subsidi untuk kesusasteraan. Termasuk di dalamnya penulis. Trisno Sumardjo menyebutnya dengan lebih lugas sebagai “Pertolongan Pertama untuk Pengarang”. Karena merekalah yang melestarikan bahasa, menghidupkan imajinasi, dan menguatkan nilai-nilai peradaban suatu bangsa. Anindita S Thayf dalam kolom Kompas menyitir esai Pramoedya Ananta Toer yang ditulis tahun 1952, yang membandingkan penulis di China dan penulis di Indonesia. Honor penulis di China saat itu 100 kali lipat dari honor penulis di Indonesia. “Kondisi finansial pengarang yang buruk ibarat takdir hidup orang miskin yang sulit diubah,” kata Anindita kemudian, menyimpulkan, “Kerja-kerja kreatif kesusasteraan tak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seorang pengarang, kecuali dia termasuk segelintir dari pengarang beruntung yang diberkati.”

Tiba-tiba saya teringat pada pertanyaan seseorang yang dikirim via japri pada saya beberapa hari lalu. Ia mengaku hobi menulis dan ingin menjadi penulis. Tapi sampai sekarang ia belum menerbitkan satu buku pun. Bukan karena ia tak mampu, melainkan karena satu pertanyaan yang terus menyerang isi kepalanya: bisakah saya hidup berkecukupan dari menulis?

“Dari tulisan-tulisan yang pernah saya baca, orang tidak akan bisa kaya dari menulis,” tukasnya. Saya berusaha mencerna pertanyaan itu. sehingga saya tidak buru-buru menjawabnya. Lalu saya memilih menceritakan apa yang melatarbelakangi dan apa yang saya alami selama menulis. “Motivasi saya bukan materi,” demikian saya katakan. “Saya hanya ingin investasi buat bekal saya di akhirat kelak.” Tetapi jika kemudian dari menulis saya mendapatkan materi, maka itulah bonus dari Allah. Jika kemudian menulis itu menjadi profesi, maka itulah pilihan hidup.

Ketika menulis sudah menjadi pilihan hidup, maka apapun—selama legal dan halal—akan dilakukan untuk bertahan hidup. Marquis De Sade, pada akhir hayatnya, ketika ia tak lagi menemukan tinta untuk menulis di dalam penjara, ia menulis dengan darah dan kotorannya. Saya merasa malu jika dikalahkan oleh De Sade. Karena saya tahu yang saya tulis adalah kebaikan, sementara yang ditulis De Sade saya yakini sebagai keburukan.

Saya berusaha sekuat tenaga agar tulisan saya dibaca. Saya berusaha meningkatkan kualitas tulisan agar semakin banyak yang tercerahkan dan nantinya tulisan saya dihargai dengan layak. Saya mencari jalan, berusaha menemukan peta, agar dengan menulis saya bisa bertahap hidup. Maka saya mulai menemukan caranya. Ternyata menulis saja tidak cukup. Kita harus menjadi penulis yang bermental pengusaha. Istilahnya dikenal dengan “writerpreneurship”.

Di satu sisi, menulis adalah perjuangan yang berdarah-darah. Di sisi lain, perjuangan untuk menjual karya kita tak kalah berdarah-darah. Usai menulis atau ketika buku terbit, bukanlah akhir dari sebuah perjuangan. Ia sekaligus awal dari perjuangan baru. Demikianlah yang akan dihadapi bagi penulis yang telah memilih menulis sebagai jalan hidupnya. Kita tak cukup berharap pada pemerintah, meski itu seharusnya tugas dan tanggung jawab mereka. Kita tak cukup mengharap iba dan belas kasihan dari orang-orang yang masih peduli pada nasib budaya dan kesusasteraan. Kita harus berjuang sendiri. Tegak di atas kaki sendiri. Sebab cita-cita kita lebih besar dari kepayahan yang kita rasakan.

Memang tidak mudah. Karena itu saya katakan, bagi orang-orang yang motivasi menulisnya semata karena materi, maka mereka tak akan bertahan lama. Lambat laun mereka akan menjauh dari dunia kepenulisan. Banyak pekerjaan dan usaha yang lebih menguntungkan daripada menulis, yang tak membutuhkan perjuangan sebesar perjuangan para penulis. Itu akan lebih bisa menghidupi mereka. Jauh dari sekadar cukup.

Mengapa harus sedemikian terjal jalan untuk menjadi penulis? Karena “hadiah” yang diperoleh penulis juga teramat besar. Bukan hadiah berupa materi. Melainkan kebahagiaan dan pahala yang tak putus-putus. Apa yang kita cari di dunia ini selain dua hal itu?

Sidoarjo, 23 Maret 2020

sumber gambar: miathletic.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

1 Response to "Berhakkah Penulis Hidup Layak?"

  1. Mas Rafif, terima kasih untuk artikel ini. Sebuah artikel yang makin menyemangati diri untuk tekun, mandiri di atas kaki sendiri dan punya pondasi kuat sekuat alasan untuk tetap menulis. :)

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel