Bagaimanakah Kau Memperlakukan Ilmu?




"Dalam setiap kuliah Ibnu Abbas," kata Sa'ad bin Jubair. "Aku terbiasa mencatat di lembaran. Apabila telah penuh, aku biasa menuliskannya di kulit sepatuku, kemudian di tanganku."
Bayangkan kita hidup di zaman Ibnu Jubair, 13 abad yang lalu. Tak ada komputer, tak ada gawai, tak ada salindia. Apakah perjuangan kita dalam menyerap ilmu juga akan segigih dia?
Saat menghadiri kajian-kajian, ceramah-ceramah, dan majelis ilmu hari ini, kita sudah terbiasa "instan". Datang, duduk, mendengarkan, sembari sibuk mengotak-atik gawai. Jeprat-jepret salindia yang ditampilkan di layar. Mengaktifkan rekaman. Atau mungkin sudah menyiapkan flashdisk untuk copas materi. Dengan demikian, kita sudah merasa "aman". Bisa sambil terkantuk-kantuk, sambil ngobrol, atau menjelajah media sosial.
Lalu, kita mengharapkan keberkahan dari majelis itu. Kita berpikir, bahwa kita akan mereview kembali isi ceramah sesampainya di rumah. Tapi kenyataannya, tak ada waktu tersisa untuk itu.
"Hafalkanlah, tapi terutama sekali tuliskanlah." Ibnu Jubair selalu mengingat pesan ayahnya itu. Tuliskanlah. Catatlah. Ilmu yang dicatat akan berbeda dengan ilmu yang hanya dihafal. Apalagi cuma didengarkan sepintas lalu. Proses mencatat adalah proses mengekalkan ingatan atas ilmu yang baru saja kita dapat.
Lewat catatan itulah, kita akan membagikannya kembali melalui tulisan-tulisan baru. Apa yang telah kita peroleh, kita perkaya dengan telaah berbagai referensi kitab, pengalaman, dan perenungan.
Betapa berharganya sebuah ilmu, sehingga setiap kata harus-harus benar-benar kita perhatikan. Ilmu lebih berharga dari berlian. Karena jika berlian mendatangkan kebaikan di dunia, ilmu insya Allah mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat.
Jika begitu, masih layakkah kita memperlakukan ilmu seperti sesuatu yang tidak penting?
"Tulis dan sebarkanlah ilmumu," kata Imam Ja'far Ash-Shadiq. "Jika kamu mati, anak-anakmu akan mewarisi kitab-kitabmu. Kelak akan tiba suatu masa yang di dalamnya terjadi kekacauan dan orang-orang tak lagi memiliki sahabat yang melindungi dan tak ada penolong kecuali buku-buku."
Tak ada penolong kecuali buku-buku. Itulah ilmu yang bermanfaat, menyelamatkan. Sahabat yang tak pernah khianat.
Sidoarjo, 6 November 2019

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Bagaimanakah Kau Memperlakukan Ilmu?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel