Cerita di Balik Kepak Cahaya #4


Berapa banyak orang yang menyukai puisi? Lebih-lebih yang membeli dan mengoleksi buku puisi?
Jumlahnya barangkali bisa dihitung jari. Itulah sebabnya banyak penerbit mayor enggan menerbitkan buku puisi.
Puisi tersingkir jauh ke ruang sunyi. Seolah hanya milik orang tak waras. Kerjaan iseng seniman gendeng. Puisi diasingkan, bahkan saat dibacakan kepada mereka, kadang ditertawakan.
Padahal, puisilah yang mewarnai peradaban. Sejahiliyah-jahiliyahnya bangsa Arab saat itu, mereka begitu menggandrungi puisi. Para penyair mendapatkan kedudukan yang terhormat. Puisi disenandungkan di medan perang untuk membakar semnagat. Puisi juga dibacakan rutin di pasar dan tempat keramaian. Salah satu yang terkenal adalah Pasar Ukaz. Di sanalah para penyair dan orator menunjukkan kemampuan mereka.
Rasululllah pun menyukai puisi. Salah satu penyair favorit beliau ada Quss bin Sa'adah. Quss banyak memukau dengan bait-bait bijak penuh hikmah.
Di antara buku-buku yang mengubah dunia, deretan buku puisi termasuk di dalamnya. Mungkin banyak yang heran, bagaimana bisa?
Satu baris saja dalam puisi bisa menggerakkan orang, menggentarkan musuh, memantik perang, membuat seorang bertekuk lutut, membuat penguasa turun tahta, membuat yang lemah menjadi kuat seketika, yang takut menjadi berani, yang lelah menjadi bergairah. Sebab satu kata dalam puisi adalah subliman ribuan kata. Sarat makna.
Cobalah baca Javid Namah karya Iqbal. Kau akan merasakan hentakan, getaran, guncangan, dan penyadaran berulang-ulang.
sebab, mengapa ada kemiskinan dan kekurangan di bawah lengkung langit ini?
Karena kau mengatakan apa yang menjadi milik Tuhan adalah milikmu sendiri
Dan Kepak Cahaya, banyak terinspirasi darinya. Kitab Keabadian. Sebuah masterpiece penyair besar Pakistan.
Sidoarjo, 2 April 2019

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Cerita di Balik Kepak Cahaya #4"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel